Rabu, 27 Juli 2011

Pajak pajak Pajak

Akhir –akhir ini, banyak kalangan membicarakan masalah pajak. Hal ini terkait dengan kasus korupsi yang terjadi di lingkungan Direkorat Pajak. Bagaimana sebenarnya hukum pajak dalam kaca mata syariah ?

Pajak menurut istilah kontemporer adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang —sehingga dapat dipaksakan— dengan tiada mendapat balas jasa secara langsung. Pajak dipungut penguasa berdasarkan norma-norma hukum untuk menutup biaya produksi barang-barang dan jasa kolektif untuk mencapai kesejahteraan umum. 

Lembaga Pemerintah yang mengelola perpajakan negara di Indonesia adalah Direktorat Jenderal Pajak (DJP) yang merupakan salah satu direktorat jenderal yang ada di bawah naungan Departemen Keuangan Republik Indonesia.( Wikipedia.org ) 

Dalam ajaran Islam pajak sering diistilahkan dengan adh-Dharibah yang jama’nya adalah adh-Dharaib. Ulama – ulama dahulu menyebutnya juga dengan al Muks. Di sana ada istilah-istilah lain yang mirip dengan pajak atau adh-dharibah diantaranya adalah:

1. al-Jizyah (upeti yang harus dibayarkan ahli kitab kepada pemerintahan Islam )

2. al-Kharaj (pajak bumi yang dimiliki oleh Negara )

3. al-Usyr (bea cukai bagi para pedagang non muslim yang masuk ke Negara Islam )

Pendapat Ulama Tentang Pajak 

Kalau kita perhatikan istilah-istilah di atas, kita dapatkan bahwa pajak sebenarnya diwajibkan bagi orang-orang non muslim kepada pemerintahan Islam sebagai bayaran jaminan keamanan. Maka ketika pajak tersebut diwajibkan kepada kaum muslimin, para ulama berbeda pendapat di dalam menyikapinya.

Pendapat Pertama : menyatakan pajak tidak boleh sama sekali dibebankan kepada kaum muslimin, karena kaum muslimin sudah dibebani kewajiban zakat. Dan ini sesuai dengan hadist yang diriwayatkan dari Fatimah binti Qais, bahwa dia mendengar Rasulullah saw bersabda :

"Tidak ada kewajiban dalam harta kecuali zakat." (HR Ibnu Majah, no 1779, di dalamnya ada rawi : Abu Hamzah (Maimun), menurut Ahmad bin Hanbal dia adalah dho’if hadist, dan menurut Imam Bukhari : dia tidak cerdas )

Apalagi banyak dalil yang mengecam para pengambil pajak yang dhalim dan semena-mena, diantaranya adalah:

Pertama : Hadist Abdullah bin Buraidah dalam kisah seorang wanita Ghamidiyah yang berzina bahwasanya Rasulullah saw bersabda :

Demi dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, sesungguhnya perempuan itu telah benar-benar bertaubat, sekiranya taubat (seperti) itu dilakukan oleh seorang penarik pajak, niscaya dosanya akan diampuni." (HR Muslim, no: 3208 )

Kedua: Hadist Uqbah bin ‘Amir, berkata saya mendengar Rasulullah saw bersabda :

Tidak akan masuk surga orang yang mengambil pajak (secara zhalim).“ ( HR Abu Daud, no : 2548, hadist ini dishohihkan oleh Imam al Hakim ) .

Dari beberapa dalil di atas, banyak para ulama yang menyamakan pajak yang dibebankan kepada kaum muslim secara dhalim sebagai perbuatan dosa besar, seperti yang dinyatakan Imam Ibnu Hazmi di dalam Maratib al Ijma’ hlm : 141 : 

“H'*ABH' #F 'DE1'5/ 'DEH6H9) DDE:'1E 9DI 'D71B H9F/ #(H'( 'DE/F HE' J$.0 AJ 'D#3H'B EF 'DECH3 9DI 'D3D9 'DE,DH() EF 'DE'1) H'D*,'1 8DE 98JE H-1'E HA3B “

”Dan mereka (para ulama) telah sepakat bahwa para pengawas (penjaga) yang ditugaskan untuk mengambil uang denda (yang wajib dibayar) di atas jalan-jalan, pada pintu-pintu (gerbang) kota, dan apa-apa yang (biasa) dipungut dari pasar-pasar dalam bentuk pajak atas barang-barang yang dibawa oleh orang-orang yang sedang melewatinya maupun (barang-barang yang dibawa) oleh para pedagang (semua itu) termasuk perbuatan zhalim yang teramat besar, (hukumnya) haram dan fasik.”

Imam Dzahabi di dalam bukunya Al-Kabair, Imam Ibnu Hajar al Haitami di dalam az- Zawajir ‘an iqtirafi al Kabair, Syekh Sidiq Hasan Khan di dalam ar-Rauda an-Nadiyah, Syek Syamsul al Haq Abadi di dalam Aun al-Ma’bud dan lain-lainnya

Pendapat Kedua: menyatakan kebolehan mengambil pajak dari kaum Muslimin, jika memang negara sangat membutuhkan dana, dan untuk menerapkan kebijaksanaan inipun harus terpenuhi dahulu beberapa syarat. Diantara ulama yang membolehkan pemerintahan Islam mengambil pajak dari kaum muslimin adalah Imam Ghozali, Imam Syatibi dan Imam Ibnu Hazm.

Dan ini sesuai dengan hadist yang diriwayatkan dari Fatimah binti Qais juga, bahwa dia mendengar Rasulullah saw bersabda :

"Sesungguhnya pada harta ada kewajiban/hak (untuk dikeluarkan) selain zakat." (HR Tirmidzi, no: 595 dan Darimi, no : 1581, di dalamnya ada rawi : Abu Hamzah ( Maimun ), menurut Ahmad bin Hanbal dia adalah dho’if hadist, dan menurut Imam Bukhari : dia tidak cerdas )

Syarat-syarat Pemungutan Pajak

Para ulama yang membolehkan pemerintahan Islam memungut pajak dari umat Islam, meletakkan beberapa syarat yang dipenuhi terlebih dahulu, di antaranya adalah sebagai berikut :

Pertama: Negara benar-benar sangat membutuhkan dana untuk keperluan dan maslahat umum, seperti pembelian alat-alat perang untuk menjaga perbatasan Negara yang sedang dirongrong oleh Negara musuh.

Kedua : Tidak ada sumber lain yang bisa diandalkan oleh Negara, baik dari zakat, jizyah, al usyur, kecuali dari pajak.

Ketiga: Harus ada persetujuan dari alim ulama, para cendikiawan dan tokoh masyarakat.

Keempat: Pemungutannya harus adil, yaitu dipungut dari –orang kaya saja, dan tidak boleh dipungut dari orang-orang miskin. Distribusinya juga harus adil dan merata, tidak boleh terfokus pada tempat-tempat tertentu atau untuk kepenting an kampaye saja, apalagi tercemar unsur KKN atau korupsi.

Kelima: Pajak ini sifatnya sementara dan tidak diterapkan secara terus menerus, tetapi pada saat-saat tertentu saja, ketika Negara dalam keadaan genting atau ada kebutuhan yang sangat mendesak saja.

Keenam: Harus dihilangkan dulu pendanaan yang berlebih-lebihan dan hanya menghambur-hamburkan uang saja,

Ketujuh: Besarnya pajak harus sesuai dengan kebutuhan yang mendesak pada waktu itu saja.

Sebagian besar syarat-syarat tersebut teringkas dalam peristiwa yang terjadi pada zaman Imam Nawawi. Pada waktu itu terjadi penyerangan besar-besaran pasukan Tartar kepada wilayah-wilayah kaum muslimin, hampir semua wilayah kaum muslimin telah ditaklukan oleh pasukan Tatar.

Yang berkuasa di Syam waktu itu adalah Sultan Zhahir Baibas. Beliau mengajak para ulama untuk bermusyawarah dalam menghadapi pasukan Tatar, sedang kas yang ada di Baitul Maal tidak mencukupi untuk biaya perang. Akhirnya mereka menetapkan bahwa Negara akan memungut pajak kepada rakyat, terutama yang kaya untuk membantu biaya perang.

Ternyata Imam Nawawi tidak hadir dalam acara itu, sehingga menimbulkan tanda tanya bagi Sultan itu. Maka akhirnya Imam Nawawi dipanggil. Sultan berkata kepadanya “Berikan tanda tangan anda bersama para ulama lain”. Akan tetapi Imam Nawawi tidak bersedia. Sultan menanyakan kepada Imam Nawawi “ kenapa tuan menolak ?”

Imam Nawawi berkata: “Saya mengetahui bahwa Sultan dahulu adalah hamba sahaya dari Amir Banduqdar, anda tak mempunyai apa – apa, lalu Allah memberikan kekayaan dan dijadikannya Raja, saya dengar anda memiliki seribu orang hamba. Setiap hamba mempunyai pakaian kebesaran dari emas dan andapun mempunyai 200 orang jariah, setiap jariah mempunyai perhiasan. Apabila anda telah nafkahkan itu semua, dan hamba itu hanya memakai kain wol saja sebagai gantinya, demikian pula para jariah hanya memakai pakaian tanpa perhiasan, maka saya berfatwa boleh memungut biaya dari rakyat.\"

Mendengar pendapat Imam Nawawi ini, Sultan Zhahir pula sangat marah kepadanya dan berkata: “Keluarlah dari negeriku Damaskus”. Imam Nawawi menjawab, “Saya taat dan saya dengar perintah Sultan “, lalu pergilah ia ke kampung Nawa d8 daerah Syam. Para ahli fiqh berkata kepada Sultan, “Beliau itu adalah ulama besar, ikutan kami dan sahabat kami “. Lalu Imam Nawawi diminta kembali ke Damaskus tetapi beliau menolak dan berkata: “Saya tidak akan masuk Damaskus selagi Zhahir ada di sana”. Tak lama kemudian, setelah satu bulan, Sultan pun mati. ( Imam Suyuti, Husnu al Muhadharah : 2/ 66-67 ) 

Apakah pajak hari ini sesuai dengan Islam?

Apakah pajak hari ini sesuai dengan syarat-syarat yang telah disebutkan ulama atas ? maka jawabannya adalah tidak, hal itu dengan beberapa sebab :

1. Pajak hari ini dikenakan juga pada barang dagangan dan barang-barang yang menjadi kebutuhan sehari-hari yang secara tidak langsung akan membebani rakyat kecil

2. Hasil pajak hari ini dipergunakan untuk hal-hal yang bukan termasuk kebutuhan darurat, tetapi justru malah digunakan untuk membiayai tempat-tempat maksiat dan rekreasi, pengembangan budaya yang tidak sesuai dengan ajaran Islam dan sejenisnya, bahkan yang lebih ironisnya lagi sebagian besar pajak yang diambil dari rakyat itu hanya untuk dihambur-hamburkan saja, seperti untuk pembiayaan pemilu, pilkada, renovasi rumah DPR, pembelian mobil mewah untuk anggota dewan dan pejabat, dan lain-lainnya.

3. Pajak hari ini diwajibkan terus menerus secara mutlak dan tidak terbatas.

4. Pajak hari ini diwajibkan kepada rakyat, padahal zakat sendiri belum diterapkan secara serius.

5. Pajak yang diwajibkan hari ini belum dimusyawarahkan dengan para ulama dan tokoh masyarakat.

6. Pajak hari ini diwajibkan kepada rakyat kecil, padahal sumber-sumber pendapat Negara yang lain, seperti kekayaan alam tidak diolah dengan baik, bahkan malah diberikan kepada perusahan asing, yang sebenarnya kalau dikelola dengan baik, akan bisa mencukupi kebutuhan Negara dan rakyat.

Perbedaan antara Zakat dan Pajak

Banyak kalangan yang menyamakan secara mutlak antara zakat dan pajak, padahal sebenarnya antara keduanya terdapat perbedaan yang sangat menyolok, diantara perbedaan tersebut adalah sebagai berikut :

Pertama (dari sisi nama ), zakat berarti : bersih, tumbuh, berkembang, dan berkah. Sedang pajak berarti : beban atu upeti yang harus dibayarkan.

Kedua, (dari sisi dasar hukum), zakat ditetapkan berdasarkan ayat-ayat Al Qur'an dan hadist-hadits Rasulullah saw yang bersifat tegas dan qath\'I, orang yang menolak untuk membayarkannya secara sengaja, wajib diperangi dan sebagian ulama menghukuminya dengan kafir. Sedang pajak ketetapannya bersifat ijtihad para ulama atau bahkan hanya keputusan dari para pejabat untuk kepentingan Negara atau untuk kepentingan mereka sendiri.

Ketiga, (dari sisi waktu ), zakat berlaku sepanjang masa sampai hari kiamat, sehingga kewajibannya bersifat tetap dan terus-menerus. Sedang pajak ketetapannya bersifat sementara, tergantung kepada kebutuhan negara.

Keempat, (dari sisi obyek dan pemanfaatan ), zakat kadarnya baku dan tetap berdasarkan hadist-hadist shahih, dan obyeknya-pun tertentu, tidak semua barang wajib dizakati, serta pemanfaatan dan penggunaannya tidak boleh keluar dari delapan golongan yang ditetapkan di dalam Qs At Taubah, ayat: 60. Sedang pajak kadar dan aturan pemungutannya sangat tergantung kepada aturan yang ditetapkan oleh Negara. Hasil pajakpun bisa digunakan pada seluruh sektor kehidupan ini, bahkan pada hal-hal yang sama sekali tidak ada kaitannya dengan kepentingan umum.

 Dr. Ahmad Zain An Najah, MA


Di peroleh:http://www.hidayatullah.com/konsultasi/fiqih-kontemporer/42/1/pajak-dan-mafianya-dalam-hukum-islam-.html

Haramnya Rokok

Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan dan syaitan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya. “ (Qs Al Isra’ : 27 )
Tentang penjelasan ilmiah masalah ini sebenarnya sudah banyak diulas berbagai media massa dan buku-buku. Direktur Jenderal WHO, Dr. Margareth Chan, melaporkan bahwa epidemi tembakau telah membunuh 5,4 juta orang pertahun lantaran kanker paru dan penyakit jantung, serta penyakit lain yang diakibatkan oleh merokok. Itu berarti bahwa satu kematian di dunia akibat rokok untuk setiap 5,8 detik. Apabila tindakan pengendalian yang tepat tidak dilakukan, diperkirakan 8 juta orang akan mengalami kematian setiap tahun akibat rokok menjelang tahun 2030 M. Selama abad ke-20, 100 juta orang meninggal karena rokok dan selama abad ke-21 diestimasikan bahwa sekitar 1 milyar nyawa akan melayang akibat rokok

Kematian balita di lingkungan orang tua merokok lebih tinggi dibandingkan dengan orang tua tidak merokok, baik di perkotaan maupun di pedesaan. Kematian balita dengan ayah perokok di perkotaan mencapai 8,1% dan di pedesaan mencapai 10,9%.Sementara kematian balita dengan ayah tidak merokok di perkotaan 6,6% dan di pedesaan 7,6%

Risiko kematian populasi balita dari keluarga perokok berkisar antara 14% di perkotaan dan 24% di pedesaan. Dengan kata lain, 1 dari 5 kematian balita terkait dengan perilaku merokok orang tua. Dari angka kematian balita 162 ribu pertahun, maka 32.400 kematian dikontribusi oleh perilaku merokok orangtua. (Fakta Tembakau Indonesia )

Survey selama tahun 1999-2003 pada lebih dari 175 ribu keluarga miskin perkotaan di Indonesia menunjukkan 3 dari 4 kepala keluarga (74%) adalah perokok aktif

Belanja mingguan untuk membeli rokok menempati peringkat tertinggi (22%), bahkan lebih besar dari pengeluaran makanan pokok yaitu beras (19%). Perilaku merokok kepala rumah tangga miskin berhubungan secara bermakna dengan gizi buruk pada balita.

Belanja rokok bahka menggeser kebutuhan makanan bergizi yang esensial untuk tumbuh kembang balita.  (Fakta Tembakau di Indonesia)
Delapan Dalil
Para ulama berbeda pendapat tentang hukum rokok, karena belum ada nash yang secara jelas menerangkan tentang hukum rokok tersebut. Tetapi dari berbagai pendapat tersebut yang mendekati kebenaran adalah pendapat yang menyatakan bahwa rokok hukumnya haram secara mutlak, baik bagi anak kecil, wanita hamil, penderita penyakit yang berbahaya, begitu juga berlaku bagi orang dewasa yang sehat wal afiat, laki-laki maupun  perempuan.

Namun banyak dalil yang bisa dijadikan landasan keharaman rokok secara mutlak adalah sebagai berikut :

Dalil Pertama adalah firman Allah swt :

Dan janganlah kalian menjatuhkan diri kalian sendiri ke dalam kebinasaan.” (Qs : al-Baqarah:195).

Dalil Kedua adalah firman Allah swt :

Dan janganlah kalian membunuh diri kalian.” (QS an-Nisa’:29)

Dalil Ketiga adalah sabda Rasulullah saw  :

Tidak boleh menimbulkan bahaya dan tidak boleh menyebabkan bahaya bagi orang lain .“ ( HR Ibnu Majah, Hadist Shahih )

Dalil Keempat: Bahwa tujuan diturunkan Syariat Islam adalah untuk menjaga lima hal, yaitu  :

a.     Menjaga Agama

b.     Menjaga Jiwa

c.     Menjaga Akal

d.     Menjaga Harta

e.     Menjaga Kehormatan

Keempat dalil diatas menunjukkan keharaman rokok, karena rokok akan menyebabkan seseorang terjerumus dalam kebinasaan dan kematian. Begitu juga, rokok selain membahayakan perokok, maka dia akan membahayakan orang lain. Dengan demikian rokok bertentangan dengan tujuan Syariah Islam, karena akan membahayakan jiwa, akal dan harta.
Dalil Kelima adalah firman Allah swt :

“Dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk .“ ( Qs Al A’raf : 157 )

Rokok termasuk dari Khobaits ( sesuatu yang buruk dan jelek ), karena rokok adalah  produk berbahaya dan adiktif, serta mengandung 4000 zat kimia, di mana 69 di antaranya adalah karsinogenik (pencetus kanker)

Dalil Keenam adalah firman Allah swt :

"Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan dan syaitan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya. “ ( Qs Al Isra’ : 27 )

Dalil Ketujuh adalah sabda Rasulullah saw :

"Allah membenci untuk kalian tiga hal: "Orang yang menyampaikan setiap hal yang didengarnya, menyia-nyiakan harta dan banyak bertanya.“ ( HR Bukhari )

Adalah suatu fakta bahwa keluarga termiskin justru mempunyai prevalensi merokok lebih tinggi daripada kelompok pendapatan terkaya. Angka-angka SUSENAS 2006 mencatat bahwa pengeluaran keluarga termiskin untuk membeli rokok mencapai 11,9%, sementara keluarga terkaya pengeluaran rokoknya hanya 6,8%. Pengeluaran keluarga termiskin untuk rokok sebesar 11,9% itu menempati urutan kedua setelah pengeluaran untuk beras. Fakta ini memperlihatkan bahwa rokok pada keluarga miskin perokok menggeser kebutuhan makanan bergizi esensial bagi pertumbuhan balita.   (Konsumsi Rokok dan Balita Kurang Gizi )
Bagaimana dengan Nasib Petani Tembakau?
Ketika para ulama telah menfatwakan keharaman rokok, maka, ada suara-suara sinis dengan mengatakan, fatwa telah mematikan petani tembakau. Nah, untuk ini ada dua landasan;
Pertama: Umat Islam harus yakin bahwa rizki di tangan Allah swt dan setiap jiwa sudah ditentukan rizkinya di Lauhul Mahfudh, dan ketentuan tersebut  diperbaharuhi lagi ketika manusia masih dalam kandungan ibu, sebagaimana sabda Rosulullah saw  :

“Sesungguhnya seseorang dari kamu dikumpulkan penciptaannya di dalam perut ibunya selama empat puluh hari. Setelah genap empat puluh hari kedua, terbentuklah  segumlah darah beku. Ketika genap empat puluh hari ketiga , berubahlah menjadi segumpal daging. Kemudian Allah mengutus malaikat   untuk meniupkan roh, serta memerintahkan untuk menulis empat perkara, yaitu penentuan rizki, waktu kematian, amal, serta nasibnya, baik yang celaka, maupun yang bahagia.“ (Bukhari dan Muslim )

Kedua: Takut miskin karena meninggalkan rokok hukumnya sebagaimana seseorang yang membatasi anak, atau melakukan aborsi karena takut tidak bisa memberi makan kepada mereka. Allah swt berfirman :

Dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena kemiskinsan, Kami akan memberi rezki kepadamu dan kepada mereka.“ (Qs Al An’am : 151 )

Allah juga berfirman :

“Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan. Kamilah yang akan memberi rezki kepada mereka dan juga kepadamu.” ( Qs Al Isra’ : 31 )

Ketiga: Keharaman rokok mestinya dijadikan kesempatan oleh para petani tembakau untuk beralih kepada komoditi lain yang bernilai lebih tinggi daripada tembakau untuk rokok, karena data - data  menunjukkan bahwa peningkatan produksi rokok selama periode 1961-2001 sebanyak 7 kali lipat tidak sebanding dengan perluasan lahan tanaman tembakau yang konstan bahkan cenderung menurun 0,8% tahun 2005.

Ini artinya pemenuhan kebutuhan daun tembakau dilakukan melalui impor. Selisih nilai ekspor daun tembakau dengan impornya selalu negatif sejak tahun 1993 hingga tahun 2005. (Fakta Tembakau di Indonesia )

Selama periode tahun 2001-2005, devisa terbuang untuk impor daun tembakau rata-rata US$ 35 juta. Bagi petani tembakau yang menurut Deptan tahun 2005 berjumlah 684.000 orang, pekerjaan ini tidak begitu menjanjikan karena beberapa faktor. Mereka umumnya memilih pertanian tembakau karena faktor turun-temurun.

Tidak ada petani tembakau yang murni; mereka mempunyai usaha lain atau menanam tanaman lain di luar musim tembakau. Mereka tidak memiliki posisi tawar yang kuat menyangkut harga tembakau. Kenaikan harga tembakau tiga tahun terakhir tidak membawa dampak berarti kepada petani tembakau karena kenaikan itu diiringi dengan kenaikan biaya produksi.

Upah buruh tani tembakau termasuk yang terendah, perbulan Rp.94.562, separuh upah petani tebu dan 30% dari rata-rata upah nasional sebesar Rp. 287.716,- perbulan pada tahun tersebut.

Oleh karena itu 2 dari 3 buruh tani tembakau menginginkan mencari pekerjaan lain, dan 64% petani pengelola menginginkan hal yang sama.

Siapakah yang paling diuntungkan dalam penjualan rokok di Indonesia?

Yang paling diuntungkan dalam penjualan rokok di Indonesia adalah para pemilik modal, yang dikuasai oleh orang-orang Yahudi. Perlu diketahui bahwa  pangsa pasar rokok di Indonesia didominasi 3 perusahaan besar: ( 2001-2009 ): Gudang Garam 32%, Djarum 25%, HM Sampoerna 19%.

Pada tahun 2005, Philip Morris membeli saham 97% Sampoerna, senilai 45 triliuan pada 2005 yang akhirnya telah menjadikan Sampoerna menduduki peringkat pertama mengalahkan Gudang Garam dan Djarum. Sehingga pada tahun 2009  urutan pangsa pasar rokok adalah Sampoena- Philip  Morris 29%, GudangGaram, 21.1%, dan Djarum 19,4 %.  Kemudian hal itu mendorong   BAT ( British American Tobacco ) membeli 85 % saham Bentoel senilai Rp 5 triliun pada Juni 2009. Dengan demikian 75% pangsa pasar dikuasai beberapa industri besar. Oligopoli ini menyebabkan industri rokok kecil bangkrut serta sangat melemahkan posisi petani tembakau

Ini berarti bahwa keuntungan rokok  bersih dari satu perusahaan rokok saja mencapai 34,7 triliyun yang membayar adalah rakyat miskin Indonesia dan uang sebanyak itu ditransfer ke Negara asalnya, sedangkan penyakit akibat rokok tetap tertinggal di Indonesia.  ( No T.C. Seri Lembaran Fakta, hal : 16 )

Wallahu A’lam, Jakarta, 26 Mei 2010.

Dr. Ahmad Zain An Najah, MA
Catatan: Masalah ini dipresentasikan pada Seminar Tentang “Rokok Halal atau Haram “ yang diadakan oleh Dewan Dakwah Islamiyah Kota Bogor bekerjasama dengan MUI Kota Bogor